Kemarin merupakan Hari Olahraga Nasional (Haornas) XXIV. Sejatinya, hari itu harus menjadi bagian dari prestasi olahraga dan bukan sekadar peringatan seremonial tanpa makna. Setidaknya, dengan kehadiran UU No 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN), kita sudah memiliki payung hukum memadai. Tinggal bagaimana para pelaku yang terlibat di dalamnya mengapresiasikan.
Membangun prestasi olahraga bukanlah pekerjaan semudah membalik telapak tangan. Ibarat bangunan tinggi, perlu fondasi kuat untuk menjadi landasannya. Membangun kawasan olahraga hanya perlu waktu kurang dari lima tahun. Tapi mencetak atlet berprestasi perlu waktu empat kali lebih lama.
Atlet yang dibina saat saya menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga saat ini tidak mungkin berprestasi cemerlang hingga di penghujung masa jabatan saya. Kalau toh ada atlet yang berprestasi saat ini, itu merupakan kerja keras sebelum saya menjabat. Atlet yang dibina saat ini barangkali baru 10 atau 15 tahun yang akan datang baru menunjukkan hasil gemilangnya.
Tapi bukan itu yang ingin saya jadikan alasan mengapa prestasi kita seperti masih jalan di tempat. Setidaknya, ada empat komponen yang harus dilakukan untuk mencetak atlet berprestasi. Menurut saya, atlet berprestasi harus dicetak dan bukan dilahirkan. Komponen itu ialah atlet, pengurus, kompetisi, dan sarana.
Atlet merupakan komponen utama pencapaian prestasi. Namun harus diakui, pola pembinaan belum berjalan di atas rel yang tepat. Budaya instan sepertinya masih menjadi hal 'lumrah' di sini. Padahal, crash program seperti itu hanya akan merugikan dunia olahraga secara keseluruhan.
Pengurus (harusnya) merupakan pihak yang memang concern terhadap kehidupan olahraga nasional. Mengurus organisasi olahraga tidak bisa disamakan dengan perusahaan yang berorientasi laba. Apalagi kalau kemudian menjadi pengurus bertujuan 'mencari nafkah' di organisasi tersebut.
Kompetisi merupakan bagian yang tidak boleh dilupakan. Sehebat apa pun pola latihan yang dilakukan, tanpa mengikuti kompetisi, kita tidak akan tahu seberapa hebat kemajuan sang atlet. Terakhir, sarana pendukung. Tanpa ada sarana dan prasarana pendukung, rasanya mustahil sebuah prestasi bisa diperoleh dengan baik.
Di sisi lain, sebagai lembaga pembuat kebijakan makro olahraga nasional, kami dihadapkan pada masalah pendanaan. Untuk 2007, APBN hanya menggelontorkan Rp663.397.600.000. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa anggaran sebesar itu jauh dari mencukupi.
Namun, bukan berarti di tengah minimnya anggaran menjadi alasan untuk tidak berprestasi. Justru tekanan seperti itu yang harus membuat kita bisa mempersembahkan prestasi gemilang. Yang terpenting lagi ialah bagaimana meningkatkan sport development index (SDI) manusia Indonesia. Pasalnya, pada 2004, SDI kita hanya 34%. Artinya, manusia Indonesia yang berolahraga tidak lebih dari 35%.
Setidaknya, program 3S (sport centre, sport community, sport fund) bisa menjawab berbagai persoalan keolahragaan di Indonesia. Namun, 3S bisa tercapai kalau semua komponen bangsa ikut aktif. Sejujurnya, bila membandingkan dengan masa lalu, ada rasa malu sebagai anak bangsa. Ketika itu, di tengah kesulitan bangsa, ternyata Indonesia mampu membangun kawasan olahraga semegah Senayan ini. Berbagai sarana pertandingan dibangun dan event sekelas Asian Games bisa dilaksanakan. Saya tidak sependapat kalau itu disebut sebagai proyek mercu suar karena nyatanya diimbangi dengan pencapaian prestasi hebat.
Program penghargaan
Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenegpora) bukan diam saja. Langkah pertama ialah menggenjot pengesahan UU No 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) yang merupakan prioritas. Karena, peraturan perundangan tersebut menjelaskan berbagai hal termasuk hak dan kewajiban pemerintah, pemerintah daerah, hingga masyarakat olahraga.
Menggandeng Kementerian Negara Perumahan Rakyat untuk bersama-sama menyediakan 1.000 rumah bagi atlet/mantan atlet berprestasi hanyalah salah satu program penghargaan. Hal itu perlu dilakukan agar tidak ada anggapan habis manis sepah dibuang. Pemberian apresiasi seperti dana pembinaan kepada atlet berprestasi pun tetap dilakukan. Bahkan, bentuk penghargaan lain dilakukan dengan memberikan bantuan prasarana kepada 35 kabupaten dan kota madya se-Indonesia senilai Rp50 miliar.
Atau sebagai tindak lanjut rapat kabinet terbatas pada 27 Desember 2006, dilakukan koordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara agar 0,5% dari total pengangkatan calon PNS setiap tahunnya diberikan kepada atlet/mantan atlet.
Beberapa hal tersebut hanyalah sebagian langkah yang diambil Kemenegpora dalam mengejawantahkan Bab V UU No 3 tahun 2005. Namun, yang lebih penting ialah bagaimana komunitas olahraga melakukan berbagai terobosan untuk menggali kembali prestasi.
Simak bagaimana prestasi bulu tangkis yang sempat merajai berbagai arena internasional. Sepak bola kita pernah menjadi semifinalis Asian Games II di Manila 1954. Namun, empat tahun kemudian di Asian Games III, Indonesia meraih medali perunggu. Di Piala Asia lalu, sebetulnya bisa menjadi momentum emas bahwa sepak bola Indonesia bisa bangkit. (Kalau mau).
Haruskah kita kembali ke masa lalu untuk meraih kembali kejayaan-kejayaan yang pernah diraih? Tentu tidak. Kini, pemerintah bertindak sebagai fasilitator. Tinggal bagaimana masyarakat olahraga menindaklanjuti dengan program-program pembinaan terpadu. Tidak mungkin pemerintah ikut campur hingga masalah teknis. Karena hal itu merupakan domain dari induk organisasi olahraga.
Daerah harus berani menetapkan cabang olahraga unggulan dan tidak terpaku membina banyak cabang. Tanpa ada spesialisasi, rasanya kehidupan olahraga kita tidak akan pernah maju.
Sejalan dengan amanat UU No 3 tahun 2005, pemerintah bertanggung jawab bukan cuma terhadap olahraga prestasi. Ada dua hal lain yang tidak boleh diabaikan, yaitu olahraga pendidikan dan olahraga rekreasi.
Untuk olahraga pendidikan, jelas peran Depdiknas tidak kecil. Karena hal itu hanya bisa dilakukan melalui jalur formal seperti sekolah. Sedangkan untuk olahraga rekreasi lebih ditujukan sebagai bagian dari proses pemulihan kesehatan dan kebugaran.
Industri olahraga
Sejujurnya, di masyarakat berkembang salah kaprah soal industri olahraga. Barangkali karena terkait kata industri, peralatan dalam olahraga itulah yang dikedepankan. Padahal, industri di sini merupakan sesuatu aktivitas yang menjadikan olahraga itu sebagai 'pabrik'.
Semisal kompetisi bola basket di Amerika (NBA), Liga Primer, Seri A Liga Italia, dan lain-lain. Itu semua sudah menjadi industri olahraga. Karena di dalamnya terjadi 'jual-beli' atlet, sponsor, hak siar televisi, hingga penjualan merchandise. Artinya, industri bukan sekadar mencetak raket untuk bulu tangkis, membuat bola kulit untuk sepak bola, atau merajut tali untuk dijadikan jaring bola voli.
Indonesia bukan tidak bisa meniru. Kompetisi yang teratur bisa dijadikan modal untuk menggerakkan industri olahraga. Bila itu bisa berjalan, pergerakan roda ekonomi tinggal menunggu hasil.
Dampaknya, pembangunan olahraga nasional yang menjadi domain Kemenegpora bisa menemukan bentuknya. Namun, sekali lagi, semua itu tidak bisa dilakukan kementerian ini sendirian. Saya sudah sebutkan empat unsur yang memegang peran penting dalam kehidupan olahraga nasional. Bila ditambah dengan peran lembaga lain, makin menambah gereget pembangunan olahraga nasional.
Selama ini sudah sering diulas di berbagai kesempatan, hanya ada dua kesempatan lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang. Pertama, kunjungan resmi Presiden ke suatu negara. Kedua, saat atlet meraih medali emas dalam sebuah event olahraga.
Olahraga sudah menembus dimensi kebangsaan. Lihat bagaimana Irak menjuarai Piala Asia 2007. Rakyat Irak yang tengah kesulitan nyatanya bisa kompak. Atau Indonesia yang tampil luar biasa di ajang tersebut. Kendati kalah, toh bisa berjalan dengan kepala tegak. Sebab, perjuangan dilakukan dengan gagah perkasa.
Sejatinya, momentum seperti itu harus menggugah persatuan bangsa. Olahraga bisa menjadi penawar kegetiran. Tinggal bagaimana komunitas olahraga itu sendiri yang menjawabnya. Mau atau tidak. Selamat Hari Olahraga Nasional.
0 komentar:
Posting Komentar